Hidangan Mata

Keterangan: Silahkan ganti tulisan berwarna merah dengan Url alamat blog anda. Pengaturan di atas berfungsi layaknya widget Recent Posts. Jika ingin menampilkan artikel-artikel berdasarkan label tertentu, anda bisa ganti kode false (ditandai warna hijau) dengan label (kategori) pilihan di blog anda. Contoh: tagName:"Kesehatan" 10000 (warna biru) untuk kecepatan pergerakan slider. Anda bisa merubahnya agar lebih cepat atau lebih lambat. Misal ganti menjadi 8000 agar lebih cepat atau 12000 agar lebih lambat, dst. 5. Jika sudah diatur semuanya, silahkan simpan dan lihat hasilnya. Kalau anda menghendaki agar tampilan slider ini hanya muncul di tampilan beranda (home) blog saja, silahkan baca postingan saya berikut ini: Cara Menyembunyikan atau Memunculkan Widget Hanya pada Tampilan Beranda Blog. Demikian. Semoga bermanfaat. Labels: Blogging Thanks for reading Cara Mudah Membuat Slider (Slide Show) Keren di Blog, Cukup Satu Langkah. Please share...!

Tuesday, 30 September 2025

Kisah Jenderal Perang Thooriq bin Ziyaad Gibraltar

HARTABUTA :

Selasa, 30-9-2025 M. 

Sumber :

WA Group Siroh Wali 9.

[30/9 05.49] Rudy®udolfo©Hermansyah Group SW9: 

# *Kisah Thāriq bin Ziyād*


#Ifriqiyah, 80 H / 699 M


Angin gurun berhembus dari arah pegunungan Atlas. Di sebuah kemah sederhana dekat Qayrawān, berdirilah seorang pemuda tinggi, berkulit sawo matang, sorot matanya tajam, rambutnya ikal. Dialah Thāriq bin Ziyād, seorang Barbar yang telah masuk Islam dan menjadi bagian dari pasukan kaum Muslimin di bawah pimpinan gubernur Mūsā bin Nusayr.


Mūsā, seorang Arab dari keturunan Lakham, menatapnya lama.

“Wahai Thāriq,” ucapnya, “aku mendengar engkau berani, dan engkau pandai mengatur pasukan. Apakah benar?”


Thāriq menunduk, merendah.

“Wahai amīr, aku hanyalah hamba Allah. Jika Allah menolongku, maka aku kuat. Jika tidak, aku hanyalah manusia lemah.”


Mūsā tersenyum.

“Engkau berkata benar. Tetapi aku melihat pada dirimu kecerdasan dan keberanian. Aku akan mengangkatmu menjadi salah satu komandanku di Ifriqiyah.”


Sejak itu, nama Thāriq mulai diperhitungkan.


---


#Perang Melawan Suku Barbar Pemberontak (82 H / 701 M)


Ketika sebagian suku Barbar di Aljazair bangkit menentang kekuasaan Islam, Mūsā mengutus Thāriq memimpin sepasukan kecil. Malam itu, menjelang pertempuran, Thāriq berdoa di atas batu besar:


“Yā Allah, Engkau tahu aku tidak mencari kemuliaan dunia. Aku hanyalah hamba-Mu, yang ingin meninggikan agama-Mu. Jika Engkau beri kemenangan, itu adalah karunia-Mu. Jika Engkau beri kekalahan, maka aku sabar dengan qadar-Mu.”


Seorang perwira muda mendekat.

“Wahai panglima, jumlah musuh jauh lebih besar dari kita. Bagaimana kita menghadapi mereka?”


Thāriq menjawab tegas, matanya berkilat:

“Kemenangan bukan karena banyaknya jumlah, tetapi karena keteguhan hati dan pertolongan Allah. Berperanglah dengan niat, dan jangan gentar. Kita adalah tentara Islam, kita membawa cahaya bagi kaum yang masih dalam kegelapan.”


Pertempuran berlangsung sengit. Thāriq maju paling depan, mengayunkan pedangnya sambil bertakbir:

“Allāhu Akbar! Allāhu Akbar!”


Suku-suku Barbar itu akhirnya tunduk. Banyak di antara mereka masuk Islam setelah melihat keberanian Thāriq. Kemenangan ini semakin mengangkat derajatnya.


---


#Karier Awal di bawah Mūsā bin Nusayr (85 H / 704 M)


Beberapa tahun kemudian, Mūsā kembali memanggil Thāriq.

“Wahai Thāriq, engkau telah menunaikan tugasmu dengan baik. Engkau bukan lagi hanya seorang prajurit, engkau kini panglima. Aku tunjuk engkau sebagai gubernur Tangier (Ṭanja). Dari situlah engkau akan menjaga pintu gerbang antara Maghrib dan daratan seberang laut.”


Thāriq menunduk hormat.

“Demi Allah, aku akan menjaga amanah ini. Selama aku hidup, tak akan ada musuh yang berani melewati Tangier tanpa seizin kaum Muslimin.”


Sejak itu, Thāriq resmi menjadi panglima perbatasan, memimpin garnisun yang kelak akan menjadi titik awal penyeberangan ke Andalusia.


#Thāriq bin Ziyād dan Penyeberangan ke Andalusia


🌊 Tangier, 91 H / 710 M


Di benteng Tangier, Thāriq berdiri di depan pasukannya. Angin laut bertiup kencang, membawa aroma asin dari Samudra Atlantik. Ia menatap ke arah utara, ke daratan yang samar terlihat di balik kabut: Andalusia.


Seorang utusan dari Musa bin Nusayr datang.

“Wahai Thāriq, Amīr Mūsā menitahkanmu untuk memimpin pasukan kecil, menyelidiki keadaan negeri seberang itu. Raja mereka, Roderic, tengah sibuk berperang dengan bangsawan-bangsawan yang memberontak. Ini adalah kesempatan bagi Islam.”


Thāriq mengangguk dalam.

“Baik. Demi Allah, aku akan menyeberangi lautan itu dengan nama Allah.”


---


#Penyeberangan ke Andalusia, Rajab 92 H / Juli 711 M


Malam pekat. Langit bertabur bintang. Kapal-kapal kecil yang dipinjam dari kaum Barbar setia menyeberang, membawa sekitar 7.000 prajurit Muslim. Mayoritas adalah Barbar yang telah masuk Islam, sisanya Arab dari garnisun Ifriqiyah.


Di tengah ombak, salah seorang prajurit berbisik:

“Wahai panglima, kita terlalu sedikit. Bagaimana jika mereka menyerang dengan jumlah besar?”


Thāriq menatap ke laut, lalu menoleh dengan suara mantap:

“Apakah engkau lupa janji Allah dalam al-Qur’an? ‘Kam min fi’atin qalīlah ghalabat fi’atan katsīrah bi-idhnillāh’ — Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah (QS. al-Baqarah: 249). Janganlah takut. Kita bukan pergi untuk dunia, tetapi untuk akhirat.”


---


#Gibraltar (Jabal Thāriq), 5 Rajab 92 H / 30 April 711 M


Tatkala mereka mendarat, Thāriq memandang tebing batu yang menjulang. Ia berkata:

“Di sinilah kita berpijak, wahai saudaraku. Mulai hari ini, tempat ini akan disebut Jabal Thāriq.”


Riwayat masyhur menyebut bahwa ia kemudian membakar kapal-kapal yang mereka gunakan agar pasukan tidak berpikir untuk kembali. Api menyala, memantul di wajah-wajah para prajurit.


Seorang prajurit berteriak kaget:

“Wahai panglima! Bagaimana kita pulang?”


Thāriq mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.

“Demi Allah! Laut ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian. Demi Allah, tiada jalan kecuali maju! Bersabarlah, karena kesabaran adalah kunci kemenangan. Jika aku gugur, teruskan perjuangan ini. Jika aku hidup, aku akan memimpin kalian sampai Allah beri kita kemenangan.”


Takbir menggema di telinga malam:

“Allāhu Akbar! Allāhu Akbar!”


---


#Pertempuran Guadalete (Ramadhan 92 H / Juli 711 M)


Beberapa minggu kemudian, di tepi Sungai Wādī Lakka (Guadalete), Thāriq memimpin pasukan kecilnya menghadapi Raja Roderic dengan puluhan ribu tentaranya.


Sebelum pertempuran, ia berkhotbah di hadapan tentaranya:

“Wahai pasukanku! Ingatlah, kita datang bukan untuk dunia, tetapi untuk meninggikan kalimat Allah. Jika kita menang, itu dengan izin Allah. Jika kita gugur, maka surga menanti. Demi Allah, aku lebih memilih mati di jalan Allah daripada hidup kembali ke belakang!”


Pertempuran berlangsung sengit, tetapi akhirnya pasukan Muslim menang gemilang. Roderic terbunuh, dan pintu Andalusia terbuka lebar bagi Islam.


Setelah Guadalete – Ramadhan 92 H / Juli 711 M


Kabut pagi menyelimuti lembah Guadalete. Bau besi dan darah masih terasa di udara. Pasukan Muslim berdiri tegak, sebagian mengumpulkan rampasan perang, sebagian lain mengangkat tangan berdoa.


Thāriq berdiri di atas batu besar, suaranya menggema:

“Alhamdulillāh! Allah telah menepati janji-Nya. Raja mereka telah binasa, dan negeri ini terbuka untuk kita. Wahai saudaraku, janganlah kalian terpedaya dunia. Kita bukan penakluk untuk harta, tetapi pembawa cahaya Islam.”


Pasukannya menjawab serempak:

“Allāhu Akbar! Allāhu Akbar!”


---


#Penaklukan Córdoba – Dzulqa‘dah 92 H / September 711 M


Pasukan Thāriq bergerak cepat menuju Qurṭubah (Córdoba). Kota itu dijaga ketat, dengan benteng tinggi dan sungai Guadalquivir mengalir di sampingnya.


Seorang komandan Muslim bertanya:

“Wahai Thāriq, bagaimana kita menghadapi tembok kota setinggi itu?”


Thāriq menatap tenang.

“Setiap tembok punya celah. Allah tidak menurunkan penyakit tanpa obatnya. Kita cari jalan tersembunyi.”


Beberapa prajurit Barbar menemukan saluran air yang mengarah ke dalam kota. Malam itu, sekelompok pasukan Muslim menyusup lewat jalur itu. Mereka membuka gerbang dari dalam, dan pasukan Muslim pun masuk.


Córdoba jatuh. Masjid-masjid pertama pun mulai didirikan di sana.


---


#Granada dan Sevilla – Akhir 92 H / 711 M


Dari Córdoba, Thāriq melanjutkan ekspedisi ke Gharnāṭah (Granada) dan Ishbīliyyah (Sevilla). Kedua kota itu, setelah perlawanan singkat, akhirnya menyerah. Penduduk diberi jaminan keamanan dengan syarat membayar jizyah dan membiarkan umat Islam mendirikan masjid.


Di Granada, seorang tetua kota bertanya kepada Thāriq:

“Apakah engkau akan memaksa kami masuk Islam?”


Thāriq menjawab lembut:

“Tidak. Agama adalah urusan hati. Kami hanya menegakkan keadilan. Siapa yang mau masuk Islam, ia saudara kami. Siapa yang tetap dalam agamanya, ia tetap mendapat perlindungan.”


Tetua itu mengangguk penuh hormat.


---


#Menuju Toledo – 93 H / 712 M


Kemenangan demi kemenangan membuat pasukan Muslim kian percaya diri. Thāriq pun bergerak menuju Ṭulayṭulah (Toledo), ibu kota kerajaan Visigoth.


Toledo adalah pusat kekuasaan Roderic. Namun karena raja mereka sudah tewas di Guadalete, kota itu dilanda kekacauan. Saat pasukan Muslim mendekat, banyak bangsawan Kristen yang memilih menyerah daripada melawan.


Thāriq memimpin shalat di sebuah gereja besar yang kemudian diubah menjadi masjid sementara. Ia berdiri di mimbar, berkata:

“Wahai kaum Muslimin, inilah kota besar yang Allah serahkan kepada kalian tanpa pertempuran berarti. Janganlah kalian zalim. Tegakkanlah keadilan sebagaimana Rasulullah ﷺ mengajarkan.”


---


#Andalusia Terbuka


Dalam waktu singkat, hampir seluruh wilayah selatan dan tengah Andalusia berada di bawah kekuasaan Islam. Dari Granada, Córdoba, Sevilla, hingga Toledo.


Kabar kemenangan itu sampai ke Mūsā bin Nusayr di Qayrawān. Ia kagum sekaligus khawatir:

“Thāriq telah melangkah begitu jauh. Aku harus segera menyusul dengan pasukan tambahan.”


Kedua panglima besar itu kelak akan bertemu di tanah Andalusia untuk melanjutkan futūhāt (penaklukan) bersama-sama.


Pertemuan Thāriq bin Ziyād dan Mūsā bin Nusayr


#Qayrawān, 93 H / 712 M


Kabar kemenangan demi kemenangan pasukan Thāriq sampai ke telinga Mūsā bin Nusayr, gubernur Afrika Utara. Ia duduk di majlisnya, wajahnya berseri sekaligus tegang.


“Subḥānallāh,” ujarnya, “Thāriq telah menaklukkan Córdoba, Sevilla, bahkan Toledo. Andalusia kini terbuka. Namun… ia terlalu jauh berjalan tanpa izin penuh.”


Seorang penasehat berkata:

“Wahai Amīr, apakah engkau akan membiarkannya sendirian?”


Mūsā berdiri, matanya berkilat.

“Tidak. Aku sendiri akan memimpin pasukan tambahan. Andalusia tidak boleh hanya di tangan seorang panglima. Ini adalah urusan besar bagi Islam dan bagi Daulah Umawiyyah.”


---


#Kedatangan Mūsā ke Andalusia – 93 H / 712 M


Dengan 18.000 pasukan tambahan, Mūsā menyeberangi laut. Ia mendarat di Algeciras. Dari sana, ia menaklukkan Mérida setelah pertempuran sengit.


Penduduk Andalusia terkejut:

“Apakah ini pasukan lain? Bukankah Thāriq sudah datang sebelumnya?”


Salah seorang perwira Muslim menjawab:

“Ya, dan kini amīr mereka sendiri yang datang.”


---


#Pertemuan Dua Panglima – Toledo, 93 H / 712 M


Akhirnya Mūsā dan Thāriq bertemu di Toledo, ibu kota kerajaan Visigoth.


Thāriq bergegas menyambut gurunya itu dengan penuh hormat, mencium tangannya.

“Segala puji bagi Allah yang mempertemukan kita kembali, wahai amīr. Andalusia kini berada dalam genggaman kaum Muslimin.”


Namun Mūsā menatapnya dengan nada keras:

“Wahai Thāriq! Engkau telah melangkah begitu jauh tanpa izinku. Tidakkah engkau tahu bahwa setiap penaklukan harus dengan perintah? Bagaimana jika pasukanmu binasa? Apa yang akan engkau katakan di hadapan Allah dan khalifah?”


Thāriq menunduk rendah, air matanya hampir jatuh.

“Wahai amīr, demi Allah aku tidak bermaksud melangkahi perintahmu. Aku hanya melihat kesempatan besar. Jika aku menunggu, musuh akan kembali kuat. Aku hanya ingin Islam berjaya.”


Hening sejenak. Kemudian Mūsā melembut.

“Engkau benar, Thāriq. Aku tidak bisa memungkiri bahwa Allah telah menolongmu. Jika bukan karena keberanianmu, mungkin Andalusia belum terbuka sejauh ini.”


Keduanya berpelukan. Pasukan bersorak gembira:

“Allāhu Akbar! Allāhu Akbar!”


---


🌟 Bersama Melanjutkan Futūḥāt


Setelah bersatu, Thāriq dan Mūsā memimpin penaklukan lebih luas:


Saragossa (Saraqusṭah) di utara jatuh ke tangan mereka.


Pasukan Muslim bahkan mencapai Léon, Astorga, dan Galicia di barat laut.


Beberapa pasukan dikirim hingga ke pegunungan Pyrenees, pintu gerbang menuju daratan Francia (Perancis).


Seorang prajurit Barbar berseru di medan perang:

“Wahai panglima, apakah ini akhir perjalanan kita?”


Thāriq menjawab sambil mengangkat pedang:

“Tidak, demi Allah! Jika Allah menghendaki, cahaya Islam akan menembus pegunungan ini hingga ke negeri-negeri lain.”


---


#Perintah dari Damaskus – 95 H / 714 M


Namun berita kejayaan ini sampai ke khalifah al-Walīd bin ‘Abd al-Malik di Damaskus. Ia khawatir kedua panglima itu terlalu kuat dan Andalusia lepas dari kendali pusat. Maka ia memerintahkan keduanya untuk segera datang ke Damaskus.


Sebelum berangkat, Mūsā berkata kepada Thāriq:

“Kita hanya prajurit, wahai Thāriq. Kemenangan ini bukan milik kita, melainkan milik Allah. Apa pun yang menunggu kita di Damaskus, kita tetap telah menunaikan amanah.”


Thāriq menunduk.

“Benar, wahai amīr. Andalusia akan menjadi saksi bahwa Islam pernah menyeberangi laut ini dengan hati yang ikhlas.”


Akhir Perjalanan Thāriq bin Ziyād


#Perjalanan Menuju Damaskus – 95 H / 714 M


Setelah menaklukkan hampir seluruh Andalusia, datanglah perintah dari khalifah al-Walīd bin ‘Abd al-Malik di Damaskus:


> “Mūsā dan Thāriq segera datang ke hadapanku, agar aku mendengar langsung kabar penaklukan Andalusia.”


Mūsā tampak berat hati. Ia memandang Thāriq.

“Wahai Thāriq, ini bukan pertanda baik. Khalifah gembira dengan kabar kita, tetapi ada juga yang iri di istana.”


Thāriq menunduk, suaranya tenang:

“Wahai amīr, kita hanyalah hamba-hamba Allah. Jika Dia menghendaki kita dimuliakan, tak ada yang bisa merendahkan. Jika Dia menghendaki kita diuji, maka kesabaranlah jalan kita.”


Keduanya pun berangkat dengan rombongan kecil, meninggalkan Andalusia yang baru saja ditaklukkan.


---


#Istana Khalifah al-Walīd – Damaskus, 95 H / 714 M


Di aula besar istana, khalifah al-Walīd duduk di singgasananya. Para pejabat, bangsawan, dan juru catat berkumpul.


Mūsā maju terlebih dahulu, mempersembahkan laporan dan membawa harta rampasan dari Andalusia: emas, perak, kain sutra, dan bahkan singgasana Raja Roderic.


Al-Walīd terkesima.

“Masya Allah… negeri seberang laut itu benar-benar telah terbuka. Tetapi katakan padaku, siapakah panglima muda yang banyak disebut-sebut dalam kemenangan ini?”


Mūsā menoleh ke arah Thāriq.

“Inilah dia, wahai Amīrul-Mu’minīn. Panglima yang menyeberang dengan tujuh ribu pasukan, mengalahkan puluhan ribu tentara Roderic, dan membuka jalan bagi kita semua.”


Thāriq maju perlahan, wajahnya sederhana, pakaian militernya lusuh. Ia tidak membawa harta, hanya membawa dirinya.


“Assalāmu ‘alaikum, Amīrul-Mu’minīn,” katanya dengan rendah hati.

“Segala kemenangan hanyalah dari Allah. Aku hanyalah hamba yang lemah, yang hanya diberi kesempatan oleh Allah untuk berjuang di jalan-Nya.”


Al-Walīd menatapnya lama. Ada kekaguman, tetapi juga tanda-tanda pengaruh hasutan di telinganya. Sebagian pejabat iri, membisikkan bahwa Thāriq terlalu populer di Andalusia.


---


#Nasib di Akhir Hayat


Sejarah mencatat berbeda-beda mengenai nasib Thāriq:


Ada yang mengatakan ia dipinggirkan oleh penguasa, hidup dalam kesederhanaan di Damaskus tanpa jabatan.


Ada yang meriwayatkan ia kembali ke Ifriqiyah bersama Mūsā, tetapi tidak lagi memegang peranan penting.


Ada pula yang menulis ia wafat dalam keadaan miskin, sekitar 720–730 M (101–112 H).


Namun, semua riwayat sepakat bahwa Thāriq tidak pernah lagi memimpin pasukan setelah dipanggil ke Damaskus.


---


#Warisan Abadi


Meski hidupnya berakhir tanpa gemerlap, nama Thāriq abadi dalam sejarah:


Pulau berbatu tempat ia mendarat disebut Jabal Thāriq, yang dikenal dunia sebagai Gibraltar.


Penaklukan Andalusia membuka jalan bagi kejayaan Islam di Eropa selama hampir delapan abad.


Ia dikenang bukan hanya sebagai panglima besar, tetapi juga sebagai simbol keberanian, tawakkal, dan kesederhanaan.


Sejarawan Al-Maqqarī menulis dalam Nafḥ al-Ṭīb:


> “Seandainya bukan karena Thāriq, niscaya pintu Andalusia tidak terbuka. Dialah yang pertama kali menyeberangi laut itu dengan keyakinan penuh kepada Allah.”


---


📚 Sumber Sejarah


1. Ibn ‘Abd al-Ḥakam – Futūḥ Miṣr wa al-Maghrib wa al-Andalus


2. Ibn al-Athīr – Al-Kāmil fī al-Tārīkh, jilid IV


3. Ibn Khaldūn – Kitāb al-‘Ibar, jilid VI


4. Al-Maqqarī – Nafḥ al-Ṭīb min Ghuṣn al-Andalus al-Raṭīb


5. Stanley Lane-Poole – The Moors in Spain


---


✨ Dengan demikian, berakhirlah perjalanan hidup Thāriq bin Ziyād: seorang budak Barbar yang menjadi panglima besar, membuka Andalusia, dan meninggalkan jejak yang tidak pernah hilang dari sejarah Islam.


☀️☀️☀️


و الحمد للّه ربّ العالمين

صلّى اللّه على محمّد

0 Comments:

Post a Comment